Senin, 21 Desember 2015

KISAH MAKAM DENDA CILINAYA



Anyar,(SK),-- Setiap suku bangsa yang hidup dengan kebudayaannya masing-masing selalu memiliki mitos atau cerita rakyat yang berupa folklor ataupun babad dan dongeng suci mengenai penciptaan alam semesta, tokoh-tokoh yang dianggap suci, dan cerita-cerita rakyat yang dianngap memiliki nilai-nilai luhur dalam sebuah budaya dianut dan lakukan secara berkelangsungan dan turun temurun.

Cerita rakyat biasanya penuh dengan keajaiban-keajaiban atau nilai-nilai mistis yang tidak bisa dikaji dan bahkan sulit untuk dipercayai dengan nalar, namun demikian, para pendukung dari cerita rakyat ini selalu percaya dan menerimanya sebagai suatu hal yang bernilai luhur bahkan lebih dari itu, mereka senantiasa mengagung-agungkan cerita rakyat yang berkembang di daerah mereka masing-masing.

Di pulau Lombok sendiri terdapat banyak sekali cerita rakyat yang berkembang dan tetap hidup hingga sekarang. Diantara sekian banyak cerita rakyat yang berkembang di pulau Lombok, ada beberapa cerita rakyat yang sangat terkenal dan bahkan tersebar hingga ke luar pulau Lombok.


Cerita-cerita dimaksud adalah cerita rakyat Dewi Anjani, cerita rakyat Cupak Gurantang, cerita rakyat Denda Cilinaya, cerita rakyat Putri Nyale, cerita rakyat Doyan Neda, dan cerita rakyat Batara Guru.

Cerita rakyat yang telah disebut tadi, hampir tersebar di seluruh wilyah pulau Lombok dan dikenal oleh semua masyarakatnya, sebab cerita tersebut telah tersebar dari mulut ke mulut dan dari masa ke masa.

Pada bagian ini, penulis hanya membahas mengenai cerita rakyat Denda Cilinaya yang disebut juga dengan nama Bibi Cili. Cerita rakyat Denda Cilinaya ini tersebar hampir di seluruh penjuru pulau Lombok, dan setiap daerah mengklaim bahwa di daerah merekalah Denda Cilinaya tersebut hidup pada masa lampau.

Misalnya masyarakat Lombok Timur menganggap bahwa Denda Cilinaya adalah cerita rakyat yang asli dari Lombok Timur, demikian juga dengan masyarakat Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Lombok Utara. Namun selama ini belum ada bukti yang pasti sebagai bukti bahwa Denda Cilinaya atau Bibi Cili itu memang benar-benar hidup di Lombok Timur, Lombok Tengah, ataupun Lombok Barat pada masa lampau.

Berbeda dengan di Lombok Utara yang memiliki bukti autentik tentang keberadaan Denda Cilinaya pada masa lampau. Bukti keberadaan Denda Cilinaya di Lombok Utara adalah adanya makam Denda Cilinaya atau Bibi Cili di Desa Anyar Kecamatan Bayan yang tepatnya berada di Bangket Montong milik Raden Singanem yang sekaligus juru kunci dan mangku dari makam tersebut, yang letaknya tidak jauh dari pantai Labuhan Carik. Makam Bibi Cili terletak sekitar 350 meter kearah timur dari tepi pantai Labuhan Carik, makam ini merupakan suatu bukti yang autentik mengenai keberadaan Denda Cilinaya pada masa silam.

Makam Bibi Cili berada di daerah persawahan masyarakat Desa Anyar, makam ini berada lebih tinggi dari pada daerah sekitarnya, oleh sebab itulah makam ini juga sering disebut dengan makam Montong yang berarti tinggi. Ketinggian tempat makam ini kurang lebih 40 meter dengan luas sekitar 6 x 4 meter dengan bentuk semakin ke atas semakin lancip, layaknya sebuah anak bukit. Di sebelah barat makam terdapat sebatang pohon beringin tua yang usianya diperkirakan sekitar ratusan tahun, di sebelah timur makam terdapat pohon mengkasar yang usianya juga diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun, di sebelah selatan makam terhampar sawah dan sekitar 50 meter kearah tenggara makam juga terdapat sebuah makam patih Jero Tuek yang membunuh Cilinaya dan di sebelah utaranya juga terdapat persawahan dan pantai.
Sekitar 50 meter ke arah selatan terdapat sumur yang disebut dengan nama Sumur Tada yang konom sumur tesebut adalah tempat Raden Mas Panji mengambil air minum saat berburu bersama maha patih yang mengawalnya dan dari sanalah Raden Mas Panji pertama kali melihat Denda Cilinaya.
Menurut salah seorang tokoh masyarakat Anyar Sukarsah, mengatakan bahwa: “…Pada zaman dahulu di gumi Bayan ini pernah terjadi suatu pristiwa besar, yaitu dibunuhnya Denda Cilinaya oleh patih yang diutus oleh Datu Keling. Pembunuhan tersebut terjadi di sekitar Tanjung Poros Mua yang sekarang disebut dengan Tanjung Menangis, yang letaknya di sekitar pantai Labuhan Carik.

Pada masa itu bumi Bayan ini masih berupa hutan belantara, namun sebagai pengingat peristiwa itu di pinggir pantai masih terdapat Pohon Ketapang dan tidak jauh dari sana terdapat Memontong (dataran tinggi) yang di atasnya terdapat Makam Denda Cilinaya.
Pada bagian sebelah selatan terdapat Sumur Tada yang merupakan sumur tempat Raden Mas Panji mengambil air minum pada saat ia berburu bersama tiga orang patih yang mengawalnya, patih itu adalah Raden Gerude, Raden Tokok dan Raden Semar.

“Dari sumur itulah Raden Panji pertama kali melihat Denda Cilinaya, sehingga ia jatuh cinta dan akhirnya ia mumutuskan untuk tinggal di rumah pengasuh Denda Cilinaya,”cerita Sukarsah.
Berbicara mengenai cerita rakyat Denda Cilinaya atau yang disebut juga dengan Bibi Cili, maka kita harus membahas siapa sebenarnya Denda Cilinaya dan dari mana asal usul sehingga makamnya terdapat di Memontong.

Di daerah Bayan memang terdapat sebuah lontar yang menceritakan asal usul Denda Cilinaya, namun lontar tersebut hingga sekarang masih disimpan di Bencingah Agung Bayan Timur dan orang yang boleh membacanyapun memiliki keturunan tersendiri.
Keturunan yang boleh membuka dan membaca lontar tersebut adalah keturunan dari Pemangku Mandalika yaitu keturunan dari orang yang memelihara Makam Denda Cilinaya. Oleh karena itu penulis mencari keterangan dari Pemangku Mandalika terkait dengan asal muasal Denda Cilinaya dan makamnya.

Setelah mencari informasi dari para tokoh adat dan tokoh masyarakat Anyar, maka penulis mendapatkan informasi bahwa yang mengetahui tentang asal muasal Makam Bibi Cili adalah keturunan dari Pemangku Mandalika atau disebut juga dengan Amaq Lokaq Mandalika.
Berikut ini penulis sajikan cerita Denda Cilinaya yang merupakan hasil wawancara dengan Amak Lokak Mandalika, yang juga juru kunci sekaligus Mangku Makam Denda Cilinaya (Raden Singanem), secara runtut sesuai dengan apa yang tertera di dalam Lontar Cilinaya.

Konon, menurut Mangku Raden Singanem, pada zaman dahulu sekitar Bayan Beleq sekarang ini, yaitu pada abad ke 8 M di bumi Bayan berkembang dua buah kerajaan besar yaitu Kerajaan Daha dan Kerajaan Keling. Posisi persisnya, katanya, bahwa Kerajaan Daha berada di wet timur Orong dan Kerajaan Keling berada di wet barat Orong.

Di ceritakan bahwa antara Datu Daha dan Datu Keling itu bersaudara. Masing-masing menjalankan pemerintahan di kerajaannya dengan aman gemah ripah loh jinawi. Namun kedua bersaudara ini belumlah cukup merasa bahagia kalau penggantinya kelak belum ada tanda-tanda akan di karuniai putra sebagai calon penerus penguasa kerajaan.

Konon kedua orang raja ini sulit sekali memiliki keturunan, sehingga pada suatu hari mereka berdua berencana untuk pergi bertapa di Montong Kayangan, dengan tujuan keduanya ingin meminta atau bertafakur di sana supaya Sang Hiyang Tunggal memberi mereka berdua keturunan.
Keesokan harinya mereka berdua pergi bertapa, dalam pertapaannya Datu Keling memohon kepada Sanghiyang Tunggal supaya ia mendapatkan anak laki-laki, sedangkan Datu Daha memohon supaya ia mendapatkan seoramg anak perempuan.

Datu Keling berjanji jika kelak ia mendapatkan anak laki-laki maka ia akan kembali ke Montong Kayangan untuk membayar Kaul atau nazar berupa sirih pinang dan sesajen secukupnya. Pada kesempatan yang sama Datu Daha juga berjanji, kelak jika ia benar-bernar mendapatkan anak perempuan, maka ia akan kembali ke Montong Kayangan untuk membayar Kaul dengan membawa pinang sirih, sesajen selengkapnya, ia juga berjanji akan membawa seekor kerbau bertanduk emas, berkuku permata, berekor sutra, dan permadani.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dikisahkan istri Datu Daha dan Datu Keling pun hamil, kemudian mereka melahirkan. Istri Datu Keling melahirkan anak Laki-laki yang diberi nama Raden Mas Panji. Begitu juga dengan istri Datu Daha beberapa minggu kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Tidak diceritakan dalam lontar Cilinaya itu siapa nama anak dari Datu Daha yang baru lahir itu.

Begitu anaknya lahir, Konon Datu Keling langsung pergi untuk membayar nazarnya ke Montong Kayangan dengan membawa apa yang diucapkan pada saat melakukan permohonan ketika melakukan tapa bratanya. Berbeda dengan Datu Daha, ia lupa akan apa yang pernah diucapkannya saat beliau bertapa untuk meminta anak perempuan itu. Diceritakan Datu Daha sangat bahagia dengan kehadiran putrinya, sehingga dengan kebahagiaan tersebut, beliau terlena dan lupa untuk membayar janjinya ke Montong Kayangan.

Dikisahkan pada saat putri Datu Daha berusia sekitar tiga tahun, anak tersebut hilang tanpa jejak, ia hilang saat bermain di halaman istana kerajaan. Konon anak perempuan tersebut dibawa oleh angin dan pada akhirnya putri tersebut terdampar di kebun milik Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol.

Tidak lama berselang semenjak putri tersebut terdampar, Inaq Bangkol yang sedang mencari pakis mendengar suara tangisan dari semak-semak belukar di kebunnya, mendengar suara bayi tersebut Inaq Bangkol terkejut, lalu mencari dari mana terdengarnya tangisan bayi tersebut, setelah beberapa lama mencari di semak-semak belukar yang dicurigainya, maka Inaq Bangkol pun menemukan seorang anak kecil mungil di tengah-tengah semak belukar yang tidak jauh dari sumurnya yang nantinya di sebut Sumur Tada itu.

Melihat anak mungil tersebut, Inaq Bangkol terkejut dan belum berani mengambilnya, maka Inaq Bangkol segera memanggil suaminya Amaq Bangkol. Setelah mereka berunding maka Inaq Bangkol langsung mengangkat dan menggendong anak tersebut, selanjutnya mereka bawa ke dalam rumah.
Sesampainya di rumah mereka (Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol) berunding untuk memberikan anak tersebut nama. Pada saat itu Amaq Bangkol langsung mengusulkan supaya anak itu diberi nama
Cilinaya, di mana Cili berarti kecil mungil dan Naya berarti Cantik Jelita. Setelah itu maka anak tersebut dipanggil dengan nama Cilinaya, mereka mengasuh dan membesarkan anak tersebut dengan penuh kasih sayang dan menganggapnya sebagai anak mereka sendiri. Hingga Denda Cilinaya berusia kurang lebih 25 tahun.
Sementara itu di kerajaan Keling, Raden Mas Panji (Putra Datu Keling) juga sudah dewasa, ia juga berumur 25 tahun sama dengan Denda Cilinaya. pada suatu hari Raden Mas Panji tiba-tiba berniat untuk pergi berburu ke Pawang Bening (hutan belantara). Lalu Raden Mas Panji meminta izin kepada ayahandanya (Datu Keling). Datu Keling memberi izin kepada putranya untuk pergi berburu dengan dikawal oleh tiga orang patih, yaitu Raden Gerude, Raden Tokok, dan Raden Semar.

Keesokan harinya mereka berempat berangkat dengan membawa bekal dan alat-alat untuk melakukan perburuan di hutan belantara. Dalam perjalannaya mencari hewan buruan mereka terus menyusuri hutan belantara. Semenatara haru sudah mau beranjak sore, mereka belum menemukan satupun hewan buruan, sedangkan persiapan air yang di bawa dari kerajaan sudah habis. Karena merasa haus maka Raden Mas Panji mengajak ketiga pengawalnya untuk mencari air minum sambil menusuri hutan belantara.

Dalam perjalanan mencari air minum mereka mendengar suara Jajak yaitu suara orang menenun. Mendengar suara tersebut mereka langsung mencari sumber suara, sebab mereka yakin di tempat itu pasti terdapat sumur untuk mengambil air minum.
Tidak lama berselang, mereka menemukan rumah Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol, sesampai di sana mereka disambut oleh Inaq Bangkol dan merekapun langsung menyatakan keinginan mereka untuk meminta air minum, setelah itu Inaq Bangkol memberikan Ceret (kendi) yang berisi air kepada Raden Mas Panji dan merekapun minum untuk melepas dahaga yang mereka rasakan sejak tadi siang.
Singkat cerita, mereka beristirahat dan berbincang-bincang dengan Ianq Bangkol dan Amaq Bangkol. Raden Mas Panji menanyakan tentang situasai dan kehidupan Inaq Bangkol dan suaminya. Saat berbincang-bincang itu, tidak sengaja Raden Mas Panji melihat Denda Cilinaya yang sedang menenun di dalam rumah, lalu dari sela-sela pagar yang bolong Raden Mas Panji terus saja mengawasi Denda Cilinaya. Karena penasaran ingin melihat Denda Cilinaya lebih jelas maka Raden Mas Panji terus saja duduk bersama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol.

Sementara itu, ketiga patih yang mengawalnya mengajak Raden Mas Panji untuk segera pulang ke isatana sebab hari sudah sore, beberapa kali mereka mengajak Raden Mas Panji untuk pulang, namun Raden Mas Panji tidak bergeming dari tempat duduknya. Akhirnya ke tiga orang patih itu memutuskan untuk pulang dan Raden Mas Panji memutuskan untuk tinggal bersama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol digubuk yang sederhana itu.
Sesampainya di istana, ketiga patih tersebut langsung melaporkan keberadaan Raden Mas Panji yang tidak mau diajak pulang dan memutuskan untuk tinggal bersama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol di gubuk yang sederhana di tengah hutan.

Mendengar laporan tersebut Datu Keling sangat murka, sebab putra mahkotanya lebih memilih tinggal di rumah orang miskin karena jatuh cinta kepada anak dari orang kebanyakan tersebut. Ia merasa putranya tidak layak untuk tinggal dan menjalin cinta kasih bersama anak orang miskin seperti Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol sebagaimana yang diceritakan oleh ketiga patih tersebut.

Sementara itu Raden Mas Panji yang berada di gubuq Inaq Bangkol semakin terpikat dengan kecantikan Denda Cilinaya, akhirnya mereka menjalin cinta kasih. Setelah kurang lebih 6 tahun tinggal di sana, Raden Mas Panji memutuskan untuk menikah dengan Denda Cilinaya. dari hasil pernikahan tersebut mereka mendapatkan seorang putra yang sangat mungil, yang kelak dikenal dengan nama Raden Megatsih. Mereka hidup dengan bahagia meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana.

Ketika anak mereka bisa merangkak (kurang lebih 6 bulan), Datu Keling mendengar kabar bahwa putranya menikah dengan anak Amaq bangkol, mendengar kabar tersebut Datu Keling semakin murka sebab Raden Mas Panji sudah mau tujuh tahun tidak pernah pulang ke istana. Akhirnya Datu
Keling mengutus dua orang maha patihnya Raden Adipati dan Raden Tokok, yang juga lebih dikenal dengan sebutan patih Jero Tuek, untuk mengajak Raden Mas Panji pulang dengan siasat bahwa Datu Keling sedang sakit keras, dan setelah itu mereka akan membunuh istri Raden Mas Panji.

Sesampainya di gubuq Inaq Bangkol, kedua maha patih tersebut menjelaskan tujuan kedatangan mereka kepada Raden Mas Panji bahwa mereka diutus oleh Datu Keling untuk menyampaikan kabar bahwa Datu Keling sedang dalam keadaan sakit keras dan Raden Mas Panji harus mencarikannya obat yaitu hati menjangan putih. Itulah siasat mereka supaya Raden Mas Panji mau meninggalkan istrinya.

Mendengar hal tersebut, Raden Mas Panji berunding dengan istrinya Denda Cilinaya. Raden Mas Panji menceritakan maksud kedatangan kedua patih itu kepada Denda Cilinaya, mendengar penjelasan itu Denda Cilinaya langsung memiliki pirasat tidak baik terhadap kedatangan kedua orang patih tersebut, namun ia tidak berani mengatakannya kepada suaminya.

Sebelum Raden Mas Panji berangkat untuk mencari hati menjangan putih, Denda Cilinaya meberinya sebuah cincin. Sewaktu memberikan cicin tersebut Denda Cilinaya berkata,
“Kanda pakailah cincin ini, jika ditengah perjalanan mata cincin ini gugur maka itu pertanda bahwa aku telah tiada dan jika mata cincin ini tidak apa-apa maka itu berarti tidak terjadi apaun terhada aku dan anak mu”.

Mendengar perkataan istrinya, Raden Mas Panji curiga, namun kedua patih itu terus mendesaknya untuk segera pergi mencarikan Datu Keling obat. Akhirnya Raden Mas Panji berangkat dengan membawa peralatan untuk berburu. Sedangkan kedua patih juga pergi dari rumah Ianq bangkol, namun mereka tidak langsung pulang ke istana, melainkan mereka bersembunyi, menunggu Raden Mas Panji pergi jauh kemudian melaksanakan tugas mereka untuk membunuh Denda Cilinaya.
Setelah kira-kira Raden Mas Panji berjalan sekitar 1 Km, kedua patih itu kembali ke rumah Inaq Bangkol untuk membunuh Denda Cilinaya. Sesampainya di sana, Adipati dan Tokok (Jero Tuek) menjelaskan maksud kedatangannya kepada Denda Cilinaya, bahwa ia akan membunuh Denda Cilinaya dan membumi hanguskan rumah Inaq Bangkol, sebab Denda Cilinaya yang merupakan anak hina, anak dari orang miskin telah lancang menikah dengan putra raja.

Mendengar penjelasan dari kedua patih tersebut, Denda Cilinaya yang pada saat itu sedang menggendong putranya berkata, “Kalau memang tujuan kalian akan membunuhku, maka aku tidak bisa berbuat apa-apa, silahkan kalian lakukan”.Denda Cilinaya berucap dengan logat dan bahasa Bayan yang pasih, “Mun tetu aku anak dedoro bebenes, agar darahku mencerit tun gon gumi berbau amis, kemudian mun tetu aku terijati anak raja, maka biar darahku mencerit taik sengeh,”(jika aku benar-benar anak orang miskin dan kebanyakan seperti yang kalian katakan, maka biarlah darahku akan tertumpah ke tanah dan berbau amis, sedangkan jika aku adalah keturunan dari seorang raja atau anak orang mulia maka darahku akan muncrat ke atas dan berbau harum”.

Setelah perkataan Denda Cilinaya terebut mereka dengarkan, mereka hanya tertawa terbahak-bahak dan Patih Tokok (Jero Tuek) langsung menancapkan pedangnya di hulu hati Denda Cilinaya.
Konon darah Denda Cilinaya muncrat ke atas dan membasahi daun ketapang yang berada di pinggir pantai tempat dilakukannya pembunuhan tersebut, darahnya juga berbau harum. Setelah itu Denda Cilinaya jatuh terkapar di bawah pohon ketapang tepatnya di pinggir pantai Labuhan Carik, sekitar 200 meter kearah timur laut dari makamnya sekarang, sedangkan putranya masih memeluknya sambil menangis.

Tidak lama berselang angin badai pun datang menerjang kedua patih tersebut. Di ceritakan Patih Tokok (Jero Tuek) langsung mati terkapar tidak jauh dari mayat Denda Cilinya, dan makamnya hingga sekarang masih ada, tempatnya sekitar 50 meter kearah tenggara dari makam Cilinaya, sedangkan Adipati bisa pulang sampai istana dengan keadaan yang mengenaskan. Sesampai di istana Adipati melaporkan bahwa mereka telah berhasil membunuh Denda Cilinya, seteah laporannya selesai, maka Adipati itupun mati bersimbah darah di depan Datu Keling. Makamnya sekarang masih ada di Tempos Bayan Beleq.Melihat hal tersebut Datu Keling heran dan merasa takut.

Sementara itu, Raden Mas Panji yang sedang berjalan menyusuri hutan untuk mencari menjangan putih mendapatkan pirasat, cincin yang diberikan oleh istrinya Denda Cilinaya gugur. Melihat hal itu, ia memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia pun langsung pulang, sesampai di rumah ia melihat rumahnya sudah rata dengan tanah, ia langsung mencari istri dan anaknya dan akhirnya Raden Mas Panji menemukan istrinya sudah terkapar di Memontong tepatnya di bawah pohon ketapang, pada saat di temukan putranya sedang menyusu sambil mendekap tubuh ibunya yang sudah terapar.
Melihat hal itu, Raden Mas Panji sangat sedih, ia langsung mengambil putranya, lalu membuatkan istrinya peti mati. Setelah peti mati itu jadi maka mayat Denda Cilinaya dimasukkan dan kemudian diapungkan dan di hanyutkan di lautan, dimana peti itu diikatkan di pohon beringin yang ada di Memontong (tempat makam Cilinaya dikenal sekarang).
Diceritakan, tidak lama kemudian tali pengikat peti mati tersebut putus dan akhirnya peti mati itu terapung dan dibawa arus entah kemana. Pada saat itulah Raden Mas Panji memberi anaknya nama “Raden Megatsih” yang artinya terputusnya tali kasih.
Selanjutnya untuk mengenang istrinya, Raden Mas Panji membuatkan pertanda di Memontong, disana ia membuatkan istrinya makam yang hingga sekarang dikenal dengan sebutan makam Denda Cilinaya itu.

Dikisahkan, delapan tahun setelah kejadian itu Datu Daha mengajak kaula balanya berekreasi ke pantai Labuhan Carik, pada saat itu Raden Megatsih juga berusia delapan tahun. Sesampainya di pantai Datu Daha berjalan-jalan di pinggir laut sambilm melihat-lihat keadaan lautan. Pada saat itu Datu Daha melihat sebuah Tabla (peti mayat) terapung dari kejauhan dan terus menuju ke pinggir lautan. Setelah peti mayat berada sekitar beberapa meter dari pantai, Datu Daha langsung memerintahakan rakyatnya untuk mengangkat peti mati tersebut dan membawanya ke luar dari lautan. Namun tidak satupun dari mereka yang dapat mengeluarkan peti tersebut dari lautan, akhirnya

Datu Daha sendirilah yang langsung mengambilnya dan barulah peti itu bisa dikeluarkan dari lautan.
Sesampainya di pantai, Datu Daha langsung membuka peti mayat dan betapa terkejutnya Datu Daha saat melihat isi dari peti mayat tersebut. Di dalam peti mayat itu Denda Cilinaya duduk tenang dalam keadaan yang masih cantik jelita. Setelah itu Denda Cilinaya mengaku bahwa dirinya adalah putri pertama dari Datu Daha, di sana Datu Daha sangat bersyukur sebab anaknya yang sudah hilang puluhan tahun lamanya sekarang telah ia temukan.
Sebagai ungkapan rasa syukurnya kehadirat Yang Maha Tunggal, maka Datu Daha pergi membayar nazarnya ke Montong Kayangan. Setelah itu Datu Daha melakukan selamatan selama delapan hari delapan malam yang disebut dengan Gawe Pelentungan.
Pada saat dilaksanakannya gawe Pelentungan tersebut, Datu Daha mementaskan berbagai kesenian pada setiap malamnya, seperti Gendang Beleq dan Perisean. Pada saat pementasan kesenian tersebut, Raden Megatsih selalu menonton, melihat Raden Megatsih yang selalu menonton tanpa dibarengi oleh kedua orang tuanya, maka Datu Daha curiga dan menyelidiki siapa sebenarnya bocah tersebut. Setelah itu beberapa orang punggawa kerajaan Daha diutus untuk mencari dan membawanya ke istana.

Akhirnya Raden Megatsih ditemukan di Memontong (dimakam ibundanya) dan kemudian ia di bawa ke istana Datu Daha, di sana Denda Cilinya langsung mengenali anaknya sebab di jari tangan Raden Megatsih terdapat cincin yang diberikan olehnya. Akhirnya Denda Cilinaya menyuruh punggawa kerajaan untuk menjemput Raden Mas Panji supaya mereka bersama-sama tinggal di istana Datu Daha. Akhir cerita Denda Cilinaya hidup bahagia bersama keluarganya di istana Kerajaan Daha.
Berdasarkan cerita lontar Cilinaya tersebut, maka dapat di ketahui bahwa nama asli dari Bibi Cili adalah Denda Cilinaya yang merupakan putri bungsu dari Datu Daha yang memimpin kerajaan Budha Daha pada sekitar abad ke-VIII Masehi.

Namun nama Bibi Cili juga tidak kalah tenarnya di kalangan masyarakat suku Sasak, tetapi jika mendengar nama Bibi Cili maka yang dimaksud adalah Denda Cilinaya.
Mengenai asal usul nama Bibi Cili, memang tidak terdapat lontar atau bukti-bukti yang menjelaskan mengapa Denda Cilinaya di sebut dengan panggilan Bibi Cili. Memang di dalam lontar Cilinaya disebutkan bahwa putri pertama Datu Daha bernama Denda Cilinaya, tidak disebutkan ada nama Bibi Cili. Namun dalam kalangan masyarakat ramai nama Bibi Cili mungkin lebih dikenal dari pada Denda Cilinaya.

Menurut Raden Setia Wati, nama asli Bibi Cili adalah Denda Cilinaya, sebagaimana yang diceritakan di dalam Lontar Cilinaya.Di dalam lontar tersebut tidak terdapat atau tidak pernah disebutkan nama Bibi Cili, tetapi dalam kalangan masyarakat Anyar,Bayan dan sekitarnya, nama Bibi Cili lebih dikenal dari pada Denda Cilinaya.
“Namun dari cerita yang pernah kami dengar dari para leluhur kami, nama Bibi Cili merupakan suatu penghormatan bagi Denda Cilinaya. Konon keturunan Denda Cilinaya inilah yang berkembang menjadi masyarakat Bayan dan sekitarnya hingga sekarang. Oleh sebab itulah kami di Anyar ini lebih mengenal Denda Cilinaya dengan sebutan Bibi Cili, di mana Bibi berarti Ibu atau nenek moyang dan Cili berarti kecil, oleh karena itu sebenarnya nama Bibi Cili merupakan suatu penghargaan terhadap Denda Cilinaya,”cerita Raden Setia Wati.

Dari keterangan di atas, maka dapat diketahui bawa nama Bibi Cili merupakan suatu penghormatan kepada Denda Cilinaya, nama Bibi Cili juga sebagai peringatan bahwa Denda Cilinaya adalah nenek moyang masyarakat Bayan dan sekitarnya. Oleh sebab itulah ia disebut dengan nama Bibi Cili yang berarti ibu atau nenek moyang yang cantik dan mungil.
Dari kisah yang telah terpapar di atas juga dapat kita ketahui bahwa Makam Bibi Cili yang bisa di lihat dan saksikan sekarang ini merupakan suatu pertanda bahwa di tempat tersebut pernah terjadi peristiwa besar, dimana Memontong (tempat Makam Bibi Cili) merupakan tempat dibunuhnya Bibi Cili oleh Patih Tokok (Jero Tuek) dan di sana juga merupakan tempat terakhir Raden Mas Panji melihat Bibi Cili yang kemudian hanyut dibawa arus bersama peti mayatnya.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa Bibi Cili adalah seorang putri raja yang hidup sekitar abad ke-VIII Masehi, dimana pada saat itu di bumi Bayan masih berkembang agama Budha.
Bibi Cili merupakan keturunan dari Datu Daha yang pada saat itu adalah penganut agama Budha, sehingga kerajaannya dikenal dengan sebutan Budha Daha dan saudaranya memimpin kerajaan Budha Keling.

Jadi dari cerita rakyat Bayan ini tentang Bibi Cili itu, kita bisa banyak mengetahui tentang keberadaan kerajaan Budha pada masa itu. Oleh karena itu cerita rakyat Bibi Cili bisa dijadikan sebagai suatu acuan atau referensi mengenai keberadaan atau perkembangan agama Budha di daerah Bayan masa itu. Keberadaan ini pula yang memperkuat bahwa ada patung kepala di baon gontor Senaru. Patung kepala ini mirip dengan patung Budha. Sehingga sisa peninggalan penduduknya hingga sekarang ada dan berkembang di Torean Bayan, dusun Baru dan Lenek di Desa Bentek Gangga serta Tebango di Desa Pemenang Barat Kecamatan Pemenang.
Terkait dengan mitos Makam Bibi Cili yang keberadaannya hingga sekarang masih terpelihara dan lestari oleh keturunannya itu, dapat diketahui adalah karena terjadinya peristiwa pembunuhan Denda Cilinaya oleh Patih Tokok (Jero Tuek) dan Adipati di pinggir pantai Labuhan Carik tepatnya di Memontong. Di tempat tersebut Raden Masa Panji membuatkan istrinya makam sebagai pertanda bahwa di tempat itulah istrinya menghembuskan napas terakhir dan di tempat itulah terakhir kali ia melihat istrinya. “Jadi makam Bibi Cili ini bukanlah kuburan melainkan sebuah tempat yang mengingatkan masyarakat bahwa di tempat tersebut Denda Cilinaya hilang atau moksa,”jelas Raden Setiawati.

Untuk itu perlu dipahami bahwa makam adalah suatu tempat yang pernah disinggahi oleh orang-orang yang dianggap memiliki karomah, kemudian tempat tersebut dibuatkan sebuah bangunan berupa kuburan sebagai pertanda bahwa tempat itu pernah dikunjungi atau pernah dijadikan sebagai tempat istirahat atau tempat terakhir orang melihat tokoh yang dikaromahkan. Sebagaimana juga tentang keberadaan beberapa makam yang dianggap memiliki karomah lainnya,seperti makam Sesait di Bayan,makam mas penghulu, makam kubur beleq di Sesait,makam sayid budiman,makam titi sama guna dan lain sebagainya.

Makam Bibi Cili yang ada di Bangket Memontong Desa Anyar itu bukanlah kuburan yang berisi mayat atau jasad Bibi Cili atau Cilinaya, melainkan hanya sekedar gundukan tanah yang dibuat seperti kuburan sebagai pertanda bahwa di tempat itu pernah terjadi peristiwa pembunuhan Bibi Cili dan ditempat itu pula sosok Bibi Cili hilang dibawa oleh arus bersama Tabla yang dibuatkan oleh suaminya Raden Mas Panji putra Datu Keling. Jadi, Makam Bibi Cili bukanlah sebuah kuburan, namun makam tersebut sangat dikeramatkan oleh warga Desa Anyar dan sekitarnya sebab menurut kepercayaan mereka Makam Bibi Cili menyimpan nilai mistis yang tinggi.(@).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar